Makna Kalo Sara

Posted by Lucken Balepex Sabtu, 12 Oktober 2013 3 komentar

Kalosara adalah lambang pemersatu dan perdamaian yang sangat sakral dalam kehidupan Suku Tolaki. Secara fisik, Kalosara ini diwujudkan dengan seutas rotan berbentuk lingkaran yang kedua ujungnya disimpul lalu diletakkan di atas selembar anyaman kain berbentuk bujur sangkar. Tradisi yang tetap lestari ini biasa digelar dalam menyelesaikan suatu pertikaian atau perselisihan dalam kehidupan masyarakat Suku Tolaki yang saat ini tersebar di Wilayah Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan dan Kota Kendari.
Kalo atau Kalosara adalah sebuah benda yang berbentuk lingkaran yang terbuat dari tiga utas rotan yang kemudian dililit ke arah kiri berlawanan dengan arah jarum jam. Ujung lilitannya kemudian disimpul atau diikat, dimana dua ujung dari rotan tersebut tersembunyi dalam simpulnya, sedangkan ujung rotan yang satunya dibiarkan mencuat keluar.

Tiga ujung rotan, dimana yang dua tersembunyi dalam simpul dan ujung yang satunya dibiarkan mencuat keluar memiliki makna bahwa jika dalam menjalankan adat terdapat berbagai kekurangan, maka kekurangan itu tidak boleh dibeberkan kepada umum atau orang banyak, sehingga pada Orang Tolaki terdapat kata-kata bijak: kenota kaduki osara mokonggadu’i, toono meohai mokonggoa’i, pamarenda mokombono’i. Arti dari kata-kata bijak tersebut adalah bila dalam menjalankan sesuatu adat terdapat kekurangan, maka adat, para kerabat, dan pemerintahlah yang akan mencukupkan semua itu atau dapat pula dimaknai kekurangan apapun yang terjadi dalam suatu proses adat, maka hal itu harus dapat diterima sebagai bagian dari adat Orang Tolaki.

Lilitan tiga utas rotan mempunyai makna sebagai kesatuan dari stratifikasi sosial Orang Tolaki yang terdiri dari anakia (bangsawan), towonua (penduduk asli atau pemilik negeri) yang juga bisaa disebut toono motuo (orang-orang yang dituakan) atau toono dadio (penduduk atau orang kebanyakan), dan o ata (budak) (Tarimana, 1989:199). Selain itu, tiga lilitan rotan juga memiliki makna sebagai kesatuan dari keluarga, yakni bapak, ibu, dan anak sebagai unit awal atau unit terkecil yang jika digabungkan atas beberapa keluarga akan membentuk suatu masyarakat.

Ketiga stratifikasi sosial di atas merupakan bentuk stratifikasi sosial Orang Tolaki di zaman dahulu. Saat ini stratifikasi sosial pada Orang Tolaki telah mengalami pula pergeseran dengan munculnya stratifikasi sosial baru walaupun stratifikasi sosial yang lama juga masih dikenal. Stratifikasi sosial yang baru ini adalah golongan terpelajar yang kemudian menduduki posisi-posisi penting dipemerintahan, golongan pegawai dan orang kaya, dan kaum petani, buruh, atau mereka yang tidak masuk pada golongan pertama dan kedua. Selain itu, stratifikasi sosial Orang Tolaki yang mengalami pergeseran, terutama terlihat pada golongan o ata atau budak yang saat ini sudah hampir tidak ada atau hampir tidak dikenal lagi oleh Orang Tolaki.

Terkait dengan adanya pergeseran stratifikasi pada Orang Tolaki, maka ukuran kalo yang dipergunakan juga ikut berubah. Jika dahulu kala Orang Tolaki mengenal adanya tiga jenis kalo yang penggunaannya diperuntukkan untuk tiga stratifikasi sosial, maka saat ini Orang Tolaki hanya mengenal dua ukuran kalo sesuai peruntukkannya.

Ukuran yang pertama adalah kalo dengan diameter 45 cm yang diperuntukkan bagi golongan anakia dan pejabat Bupati ke atas (Bupati, Gubernur dan seterusnya), ukuran yang kedua adalah kalo dengan diameter 40 cm yang diperuntukkan bagi golongan toono motuo (orang-orang yang dituakan dalam orang) dan toono dadio (penduduk atau orang kebanyakan).

Kalo/Kalosaratidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari orang Tolaki. Kalo/Kalosara sebagai simbol persatuan-kesatuan dan simbol hukum adat selalu hadir dalam berbagai peristiwa penting dalam kehidupan orang Tolaki. Misalnya dalam penyelesaian berbagai konflik/sengketa baik dalam skala besar (misalnya sengketa yang melibatkan kampung dengan kampung) maupun dalam skala kecil (misalnya sengketa yang melibatkan individu dengan individu), dalam pengurusan perkawinan, dalam menyambut tamu, dalam menyampaikan undangan lisan, menyampaikan berita duka, dan berbagai peristiwa-peristiwa lainnya.

Kalo/Kalosara sebagai simbol yang selalu hadir dalam berbagai peristiwa penting tidak dapat dihadirkan oleh orang-orang biasa dalam masyarakat. Di dalam masyarakat orang Tolaki terdapat tokoh adat yang disebut sebagai Tolea dan Pabitara. Tolea dan Pabitara ini merupakan juru penerang adat yang tugasnya adalah menyampaikan suatu pemberitahuan kepada orang banyak. Mereka adalah tokoh adat yang diangkat sebagai tokoh karena kepandaiannya dalam menjelaskan sesuatu serta dianggap mampu berbicara dalam berbagai urusan-urusan penting dalam kehidupan sehari-hari. Kedua tokoh adat inilah yang juga berhak untuk membawa kalo/Kalosara serta berbicara atas nama hukum adat dengan menggunakan kalo/Kalosara dalam berbagai urusan pada orang Tolaki.




Baca Selengkapnya ....

Sejarah kerajaan Muna

Posted by Lucken Balepex Jumat, 11 Oktober 2013 0 komentar
Asal Usul Penghuni Pertama

            Berdasarkan sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa Pulau Muna telah dihuni manusia sejak zaman pre sejarah. Bukti-bukti tentang adanya kehidupan pada zaman itu antara lain didasarkan atas penemuan gambar-gambar atau lukisan di gua Metanduno, Liang Kabori, gua Toko, terdapat di Desa Balo kecamatan Takobu. Data yang diperoleh dari seksi kebudayaan kandep Dikbud Kabupaten Muna menunjukkan bahwa di Muna terdapat 24 gua yang di duga pernah dihuni manusia di Zaman pra sejarah.Pada dinding gua-gua tersebut terdapat lukisan gambar orang hidup berburu babim gambar matahari, ddl. Seperti terdapat Metanduno dan Liang kabori di desa Bolo. Adanya lukisan orang sedang berburu babi, menggabarkan ciri kehidupan/mata pencariharian manusia padad zaman pra sejarah. Adanya gambar/likisan matahari menggabarkan ciri kehidupan manusia yang memuja pada dewa matahari. Selain itu ditemukan pula lukisan manusia yang sedang mengendarai kuda dengan memegang tombak, yang diduga binatang yang digunakan untuk berburu adalah kuda dengan bersenjatakan tombak.Dari sejumlah gua yang terdapat di Muna memang belum banyak dikunjungi oleh para peneliti/ahli arkeologi, namun dari hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kebudayaan Kandepdikbud Kabupaten Muna, disimpulkan bahwa gua-gua tersebut pernah dihuni oleh manusia. Berdasarkan data-data dan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa :Penghuni Pulau Muna pertama bukan berasal dari Luwu/Sawerigading sebagaimana diungkapkan oleh sebagian orang Muna dan tradisi sejarah yang diwariskan secara turun temurun.

Berbicara tentang asal usul penduduk Pulau Muna sebenarnya harus didasarkan atas migrasi rumpun bangsa Melayu Austronesia dari daerah Yunan (Cina Selatan) ke Nusantara. Karena dari perpindahan bangsa Melayu Austronesia tersebut, kemudian menjadi cikal bakal penghuni pertama kepulauan Nusantara. Sudah tentu hal tersebut didasarkan pula pada jenis-jenis kebudayaan Nusantara yang pertama, dimana sisa-sisanya tersebar/terdapat diberbagai daerah dari Barat sampai ke Timur.

Ahli-ahli purbakala ytang berjasa dalam menemukan dan menyelidiki jenis-jenis fosil manusia purba di Pulau Jawa, seperti E. Dubois (1890), Van Koeningswald (1936-1941), dan Van Stemi Celenfels (1931), menyebutkan bahwa pada jaman Neolitikum masuk ke tanah air kita pendatang-pendatang baru dari Teluk Tonkin, yaitu jenis bangsa Melanesoid (bangsa yang berkulit hitam). Mereka ini berkebudayaan Mesolitikum yang berpusat di Vietnam. Daerah persebaran bangsa Melanesoid ini meliputi daerah Hindia Belakang Nusantara dan Kepulauan Lautan Teduh.

Sisa-sia keturunan mereka masih kita temui sepertin orang Sabai di Siak. Orang Semang dipedalaman Malaya, orang Acta di pedalaman Filipina, orang-orang Papua Melanesoid di Irian dan Pulau Melanesia. Kemudian pada sekitar tahun 2000 SM terjadi gelombang perpindahan rumpun bangsa yang berbahasa Malayu Austronesia (Melayu Kepilauan Selatan). Suatu ras Mongoloid yang berasal dari Yunan di Cina Selatan. Dari temp0at itu mereka menyebar ke daerah-daerah di Lautan Teduh dan sampai ke Madagaskar. Mereka ini adalah pendukung dan penyebar kebudayaan Neoleth (Batu Muda), berupa kapak persegi dan kapak lonjong.

Sisa kapak persegi banyak diketemukan di sekitar Teluk Tonkin, Malaya, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Sedangkan kapak lonjong banyak di temukan di filipina, Minahasa (Sulawesi), Halmahera (Maluku) sampai Irian. Penyebar atau pendukung kebudayaan ini disebut Melayu Tua (Proto Melayu) yang sisa-sisa keturunan mereka banyak ditemukan di daerah-daerah pedalaman tanah air kita seperti orang Suku Dayak di pedalaman Kalimantan, Suku Toraja di pedalamn Sulawesi, orang Nias di Pulau Nias pantai Barat Sumatra, orang Kubu di pedalaman Sumatra Selatan, orang Sasak di Pulau Lombok dan sebagainya.

Baca Selengkapnya ....

ERA PEMERINTAHAN RAJA-RAJA DI BUTON

Posted by Lucken Balepex Rabu, 09 Oktober 2013 0 komentar
Jumpa lagi dengan artikel lain tentang Sejarah Kerajaan Buton, kali ini saya menuliskan tentang era pemerintahan Raja-Raja di Buton..

         Zaman Kerajaan Buton ditandai dengan dilantiknya Sibara Wakaka sebagai Raja Buton I sekitar tahun 1338 M. Raja dilantik oleh Pataliambona dib au-bau (Keraton Buton) pada “Batu Popaua”. Popaua adalah batu bekas injakan taapak kaki Wakaka, ketika pertama kali menginjakkan kakinya dibumi Buton. Kemudian diabadikan menjadi tempat pelantikan Raja dan Sultan secara turun-temurun di Buton.

Zaman kerajaan di buton berlangsung ± 200 tahun dimana telah memerintah 6 (enam) orang raja, yaitu:

· Sibantara Wakaka ( Raja I : ± 1338-1376)

· La Baluwu (Raja II : ± 1376-1415)

· Batara Guru (Raja III : ± 1415-1454)

· Tua Rade (Raja IV : ± 1454-1490)

· MulaE (Raja V : ± 1490-1537)

· Murhum (La Kilaponto) (Raja VI : ± 1537-1538)

Dari keenam Raja yang memerintah di Buton selama ± 200 tahun ; Raja I Sibatara Wakaka (±1338-1376) dan Raja V MulaE (±1490-1537) serta Raja VI La Kilaponto atau Murhum yang akan diuraikan secara singkat dalam tulisan ini.

Raja Sibatara Wakaka sebagai Raja I di Buton, telah berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan yaitu: (1). Ikrar berbunyi “Poromu Yinda Sangu, Poga Yinda Kolata” artinya “ Bersatu tidak terpadu, Bercerai tidak berantara”.(2) Falsafah hidup masyarakat Buton, yaitu : ‘Poma-ma Siaka, Poangka angkataka, Popia-piara” artinya: saling kasih mengasihi, saling hormat menghormati dan saling memelihara; (3) Wilayah Kerajaan Buton yang meliputi Wilayah Kamaru (Buton Timur) di pinpim oleh Raja Baubesi; Tobe-tobe (Wilayah Buton Barat) dipimpin oleh Raja Dungku Cangia, dan Muna yang di pimpin oleh Raja Muna Banca Patola (La Ode ZaEnu, 1985:48). Tetapi masyarakat Muna tidak pernah mengakui aneksasi Buton atas wilayah Muna sebagai wilayah di bawah kekuasaan Buton.

Dibawah pemerintahn Raja MulaE (Raja VI, ± 1490-1537) telah terjadi serangan besar-besaran demi bajak laut Tobelo yang dipimpin La Bolontio. Raja MulaE mempersiapkan kekuatannya untuk menghadapi musuh yang sangat banyak serta sangat sakti.

Menurut La Ode ZaEnu, ada 3 orang kesatria yang membantu Buton menghadapi serangan La Bolontio dan pasukannya, yaitu :

- Manjawari; adalah Opu dari Selayar, yang waktu itu Selayar dan Kabaena adalah kekuasaan Opu Manjawari.

- Betoambari; adalah Raja Wajo yang daerahnya meliputi pantai-pantai Boepinang sampai di Sua-Sua.

- Lakilaponto (Murhum/Haluoleo); Putra Raja Muna Sugi Manuru yang pada waktu itu sudah menjadi Raja Muna (La Ode Zaenu, 1985 : 28).

Menurut sumber lain, Manjawari dan Betoambari ditewaskan oleh La Bolontio, tetapi Lakilaponto (Murhum/Haluoleo) yang berhasil menegaskab La Bolontio dalam pertempuran sengit di Boneatiro (di depan Teluk Kapontori) pada tahun 1536.

Pada tahun 1537, Raja MulaE mengawinkan putrinya bernama Wa Tampai Donga dengan La Kilaponto dan menyerahkan kekuasaannya pada Murhum. Jadi Murhum atau La Kilaponto dinobatkan menjadi Raja Buton VI tahun 1537-1538.


Baca Selengkapnya ....

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN KONAWE

Posted by Lucken Balepex Sabtu, 05 Oktober 2013 7 komentar
BERDIRINYA KERAJAAN KONAWE DAN WEKOILA SEBAGAI RAJA I 


         Menurut dokumen DPRD Tk.I Sulawesi Tenggara, dijelaskan bahwaq dari deretan nama-nama raja (Mokole) di Kerajaan Konawe berdiri sejak abad V dan raja I adalah Tanggolwuta (1982 : 138 ). Sebelumnya sudah ada kerajaan kecil yaitu : Kerajaan Wawolesea, Kerajaan Besulutu dan Kerajaan Padangguni.

Dari beberapa sumber informan maupun penulis sejarah lokal Sulawesi Tenggara (H. Surabaya, Prof. Eddy Mokodompit, Johan Mekuo, Muslimin Suud, B. Burhanuddin) mengemukakan bahwa wekoila adalah Raja I di Kerajaan Konawe. Saya menggaris bawahi pendapat tersebut mengapa Wekoila yang disepakati menjadi Raja I di Kerajaan Konawe, di jelaskan sebagai berikut :

  • Sebelum Wekoila menjadi mokole More I di Konawe, raja-raja yang pernah memerintah belum memiliki konsep (system) pemerintah yang teratur.
  • Raja-raja memerintah secara otokrasi, belum menggunakan aparat pembantu raja sehingga roda pemerintahan tidak berjalan dengan baik.
  • Raja-raja belum memahami apa yang harus dikerjakan, kepada siapa seharusnya bertanggung jawab, seakan-akan terjadi suatu kevakuman dalam pemerintahan ( R.Tamburaka, 1998 : 5)
Kehadiran Raja Wekoila memegang tumpuk pimpinan Kerajaan Konawe (± 948 – 968) dianggap sebagai Mokole I Kerajaan Konawe berkedudukan di Unaaha, sekaligus pertanda awal terbentuknya system pemerintahan yang mulai teratur dengan baik.

Sebagai buktinya dapat dijelaskan sebagai berikut :


  •  Raja Wekoila telah menunjuk seorang WATI atau pembantu Raja dan pejabat-pejabat yang di gelar TONOMOTUO atau Pemimpin Masyarakat masing-masing, dibantu oleh pejabat-pejabat adat yang disebut TOLEA-PABITARA (Urusan Perapua= Perkawinan), POSUDA (Urusan Perbekalan/Logistik), OTADU (Urusan Pertahanan/Keamanan) dan TAMALAKI (Urusan Pertempuran/Peperanagan= Panglima Perang).
  • Pada masa pemerintah Wekoila, masyarakat Konawe diklasifikasikan dalam tiga tingkatan-stratifikasi social yaitu : (a) golongan tingkat atas disebut ANAKIA (Bangsawan), (b) golongan tingkat menengah disebut TOONONGGAPA (orang kebanyakan), (c) golongan tingkat bawah disebut OATA (Budak). (Monografi Sultra 1982 : 118)
  • Raja Wekoila memerintah disertai seperangkat-brenda (regalis) artinya untuk mengatur tata hidup masyarakat yang dikenal dengan adat KALO-SARA. Dalam pandangan falsafah masyarakat Tolaki di Konawe terhadap Kalo-Sara, dapat disimpulkan suatu Motto-filosofis dalam bahasa puitis Tolaki, berbunyi : “ INAE KONASARA IETO PINESARA, INAE LIASARA IETO PINEKASARA “ artinya; Barang siapa mentaati/menjujunjung tinggi hukum (Adat) akan diperlakukan dengan baik/adil, barang siapa melanggar hukum akan diberi ganjaran atau hukuman.

Adapun kondisi dan situasi jalannya pemerintahan di Kerajaan Konawe pada masa Raja Wekoila, oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya digambarkan hanya berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang berlandaskan hokum adat, antara lain berhasil mempersatukan seluruh masyarakat yang beradad dibawah suatu hokum perundangan tidak tertulis dengan inti kepatuhan dan ketaatan terhadap raja/penguasa yang memerintah, namun soal bentuk dan susunan organisasi pemerintahan yang benar-benar riil dari tanggung jawab belum dapat diwujudkan oleh Raja Wekoila.

Berdasarkan gambaran diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi dan situasi pemerintah Kerajaan Konawe pada zaman pemerintahan Raja Wekoila relative belum memiliki bentuk dan susunan yang rapi, namun secara keseluruhan penduduk yang tersebar secar kelompok dalam bentuk “ O’NAPO “ atau “ O’KAMBO “ (Kampung) dan hidup saling terpisah dan berjauhan satu sama lain, dapat dipersatukan dibawah satu kesatuan pemerintah kerajaan yang berpusat di Unaaha.

Akhir pemerintahan Wekoila tidak diketahui secara pasti, namun dari penuturan para informan tokoh adat Tolaki yang disesuaikan dengan silsilah Raja-raja konawe yang kami susun, bahkan sesudah Wekoila memerintah di Kerajaan konawe sebagai mata rantai dinasti/keturunannya, berlangsung sampai 23 orang raja termasuk pelaksana sementara Raja Konawe terakhir sampai peralihan ke Raja Laiwoi (1918). Tetapi jika dihitung dari masa pemerintahan Tanggolowuta (abad V) maka kerajaan Konawe berlangsung ± 15 abad lamanya.

Dari 23 Raja di Kerajaan Konawqe setelah Wekoila, kami akan ulas secara komprehensi peranan Raja Tebawo, karena peranan beliau dalam mengembangkan system organisasi pemerintahahn di Kerajaan Konawe.



Baca Selengkapnya ....

LAGU KHAS TOLAKI

Posted by Lucken Balepex Jumat, 04 Oktober 2013 0 komentar







TubeHome.com Video from everywhere!
KUTESOLO RIRINGGU
TubeHome.com Video from everywhere!
AMBONGI AKU
TubeHome.com Video from everywhere!
Album Tolindo Tolaki Indonesia Karya Terbaru Agus Karodda, Lagu Daerah Tolaki Kendari Sulawesi Tenggara Untuk melihat video selanjutnya klik disini

Baca Selengkapnya ....

Sejarah Kerajaan Konawe

Posted by Lucken Balepex Kamis, 03 Oktober 2013 0 komentar
          Dari segi Etimologi Kata “Konawe” berasal dari bahasa tolaki terdiri atas dua suku kata,yaitu KONA dan WE

KONA, artinya baik,sepadan,subur,megah,mujur atau meningkat, contoh; KONA LAKO,KONA WAWE, KONA SONGGA, KONAWUKU.artinya; berpenghidupan baik/meningkat, berbudi pekerti luhur, bernasib dan mujur.

WE atau AWE , artinya menunjukan tempat,sifat feminism/nama awal panggilan wanita, seperti atau yang cantik atau yang dihormati, air atau sungai. Contoh; WEBUNGA, WEALANDA, nama awal seorang wanita dimana orangnya seperti bunga yang indah, wanita angggun/dihormati.

KONAWE, artinya tempat atau satu kerajaan yang megah dimana tempat tersebut mendatangkan kemujuran atau berartu juga tempat/wilayah yang terletak di daerah aliran sungai, yaitu Sungai KONAWEEHA.

        Dari segi praktisnya nama KONAWE atau kerajaan Konawe berasal dari nama Sungai Konaweeha ( yang lebar dan panjang serta banyak mendatangkan kesuburan ) yang merupakn tonggak sejarah dan simbol persatuan, kedamaian, keindahan, kesuburan dan kemakmuran bagi masyarakatnya.

Wilayah kerajaan KONAWE adalah merupakan hamparan padang yang luas dan subur dikelilingi oleh beberapa aliran sungai sungai besar yaitu; Sungai KONAWEEHA, Sungai LASOLO, Sungai LAHUMBUTI, Sungai WOLASI, Sungai RORAEHA dan lain-lain,juga dikelilingi oleh laut pegunungan yang tinggi serta dikawasan timur dan selatan dikelilingi oleh laut yang kaya akan sumberdaya kelautan (Rustam E. Tamburaka, 1988: 2-5)

KEADAAN GEOGRAFIS

Kendari dari segi administrasi pemerintah dikenal denga Kabupaten Kendari dan Kotamadya Kendari, wilayahnya hampir meliputi seluruh wilayah bekas Kerajaan Konawe yang pernah berdiri dan mengalami puncak-puncak kejayaannya sekitar abad XV-XIX. Kerajaan Konawe akhirnya runtuh setelah mengalami perpecahan ke dalam lalu dignatikan derngan Kerajaan Laiwoi yang di bantu oleh pemerintah Hindia Belanda akhir abad XIX melalui perjanjian “ Lang Tractat “ (1858)

Adapun batas-batasnya meliputi :

Ø Sebelah Utara; berbatasan dengan Kerajaan Bungku (Onderrafdeling Kolonedale, sekarang masuk wilayah Propinsi Sulawesi Tengah) dan Kerajaan Luwu (Onderafdeling Malili, sekarang masuk wilayah Propinsi Sulawesi Selatan)

Ø Sebalan Barat berbatasan dengan Teluk Bone dan Wilayah Kerajaan Mekongga (sekarang masuk wilyah Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara)

Ø Sebelah Selatan; berbatasan denga Selat Tiworo dan Selat Buton

Ø Sebelah Timur; berbatasan dengan Laut Maluku

Baca Selengkapnya ....

ASAL USUL PENGHUNI PERTAMA DAERAH KENDARI DAN DARATAN SULAWESI TENGGARA

Posted by Lucken Balepex Selasa, 01 Oktober 2013 3 komentar
                 Mengenai asal usul penghuni pertama daratan Sulawesi Tenggara, antara lain telah di singgung oleh peneliti-peneliti sebelum ini. Bertin Lakebo dalam penelitiannya (1977-1978) menyinggung bahwa wilayah ini pernah dihuni oleh penduduk asli yang dikenal sebagai To Laiwoi atau Tokea.
                Karakteristik penduduk asli ini ialah : mereka tinggal di gua-gua dan hidup dari umbi-umbian dan binatang hasil buruan (Lakebo, 1977 : 20). Sekiranya apa yang diungkapkan oleh Lakebo ini benar, mungkin saja To Laiwoi atau Tokea ini telah di bandingkan oleh orang Toala yang menghuni gua-gua batu Sulawesi Selatan. Dengan kata lain bahwa To Laiwoi atau Tokea ini dapat ditempatkan dalam lapisan budaya masa berburu dan mengumpul makanan dan tingkat lanjut, atau zaman mesolitik. Namun demikian, pernyataan ini masih memerlukan data arkeologi yang memadai.
                Abdurauftarimana Tarimana adalah salah seorang antropolog didaerah ini, dalam kajiannya mengenai kebudayaan Tolaki (1985) melihat asal usul orang Tolaki ( masyarakat yang mendiami sebagian besar daratn Sulawesi Tenggara), dengan melihat cerita rakyat yang berkembang di daerah ini (Oheo. Pasa”eno, Wekoila dan Onggabo) (dilihat Tarimana 1985 : 331-345)
                Dari hasil analisa yang telah dilakukan terhadap cerita rakyat tersebut, Tarimana menduga bahwa orang Tolaki itu dating kewilayah daratan Sulawesi Tenggara ini dari utara dan timur. Mungkin mereka yang dating dari utara itu berasal dari Tiongkok Selatan yang melalui Filipina Kepulauan Mindanao, Sulawesi Utara, Halmahera, dan Sulawesi bagian Timur, terus memasuki muara Lasolo atau Sungai Konawe’eha dan akhirnya memilih lokasi pemukiman pertama dihulu sungai itu ( Tarimana, 1985:51).
                Tinjauan lain mengenai asal usul orang Tolaki, dapat juga dilihat melalui cirri antropologisnya. Hal ini sesuai dengan yang telah dipaparkan oleh Rustam E. Tamburaka dalam Profil Kerpendudukan dan Keluarga Bencana Propinsi Sulawesi Tenggara ( 1989 : 5 ) sebagai berikut :
                Dilihat dari ciri-ciri antropologisnya baik cepalixindeks, mata, rambut maupun warna kulit Suku Tolaki memilki kesamaan dengan ras Mongoloid, di duga berasal dari Asia Timur, mugkin dari Jepang untuk kemudian tersebar ke Selatan melalui Kepulaun Riukyu, Taiwan, Filipina, Sangihe Talaud, pantai Timur Sulawesi sampai ke Sulawesi Tenggara. Ada juga menyatakan bahwa perpindahan pertama berasal dari Yunan (RRC) ke Selatan melalui Filipina, Sulawesi Utara ke pesisir Timur dan Halmahera. Pada saat memasuki daratan Sulawesi Tenggara masuk melalui muara Sungai Lasolo dan Konawe’eha yang dinamakan Andolaki.
                Untuk menjembatani pendapat-pendapat di atas, kiranya perlu juga dikemikakan data arkeologis, apalagi dengan perkembangan ilmu ini yang semakin pesat, terutama dengan pengguanaan metode pertanggalan yang semakin akurat, sehingga upaya merenkontruksi kehidupan masa lalu dapat dilakukan dengan lebih sempurna.
                Suatu rekontruksi mengenai kehidupan pra sejarah telah dilakukan oleh Bellwood (1985). Rekontruksi yang dilakukan itu sangat menarik perhatian, terutama karena analisisnya yang didasari atas bahasa (linguistic) dan data artefak (dalamhal ini carbon dating atas artefak neolitik). Hasil analisis tersebut menghasilkan antara lain rekontruksi tentang persebaran pemakai-pemakai bahasa Austronesia. Dalam rekotruksi tersebut tampak bahwa pemakai bahasa Austronesia mulai menyebar meninggalkan daerah asal ( sekitar Cina Selatan)menuju Taiwan sekitar 4000 SM, sekitar tahun 3000 SM pemakai bahasa ini ada yang berlayar ke Selatan menuju Filipina dan selanjutnya sekitar tahun 2500 SM memasuki Sulawesi  ( Bellwood, 1985 : 120-121).
                Jika mengaju pada rekontruksi yang dilakukan Bellwood tersebut diatas, dapat diduga bahwa kedatangan orang Tolaki didaratan Sulawesi Tenggara ini sekitar tahun 2500 SM atau sesudahnya. Dengan kata lain bahwa mereka itu termasuk dalam kelompok migrant yang menggunakan bahasa Austronesia.
                Bertolak dari uraian-uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penghuni pertama daerah Kendari dan daratan Sulawesi Tenggara pada umumnya terdiri atas To Laiwoi ( Tokea) yang hingga saat ini datangnya masih sangat gelap. Selanjutnya disusul dengan route Cina Selatan-Taiwan-Filipina-Sulawesi.              
Demikian halnya persebaran hingga memasuki daratan Sulawesi Tenggara, mungkin dapat ditarik suatu garis dari Sulawesi Utara-sulawesi Tengah bagian Timur dan selanjutnya memasuki daratan Sulawesi Tenggara. Ilustrasi tersebut dapat pula diperkuat melalui data artefak (berupa peninggalan neolitik) yang terdapat dimasing-masing tempat. Selain data artefak, ilustrasi tersebut dapat pula diperkuat melalui data bahasa. Dari data yang dapat diperoleh deketahui bahwa beberapa kosa kata dari masing-masing daerah yang memilki persamaan sebutan maupun maknanya. Sebagi contoh; kta ike= alat pemukul kulit kayu, pongasi = minuman yang mengandung alkohol yang bahannya dari beras yang dipermentasi.
(Prof.Dr.H. Rustam E. Tamburaka, M.A. et. Al. “Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun)

               

Baca Selengkapnya ....
Tutorial SEO dan Blog support Online Shop Tas Wanita - Original design by Bamz | Copyright of Sejarah Sulawesi Tenggara Dan Budaya Suku Tolaki.

Total Tayangan Halaman